Yeni Wahid Founder Wahid Foundation |
Bangsa Indonesia terkesan dengan toleransi yang tinggi dan
memiliki karakter ramah tamah, berbudipekerti luhur serta menghargai sesama
umat dalam kehidupan bermasyarakat. Lembaga Wahid Foundation yang diketuai oleh
Yeni Wahid mengundang Blogger dan Instansi terkait, namun Yeni Wahid tidak bisa
hadir dalam acara ini dikarenakan berbarengan dengan haul Gusdur. Bincang
Perdamaian ini membahas tema Diskusi Potret Toleransi di Indonesia dengan narasumber
Bp. Jayadi Damanik dari Komnas HAM, bp Engkus Ruswana dari Penghayat
Kepercayaan, bp KH. Imam Aziz Ketua Nahdatul Ulama, Bp. Kombes Awi dari Humas
Mabes Polri dan Ibu Asfinawati dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia,
berlokasi di Balai Kartini Ruang Mawar Lantai 2, Gatot Subroto – Jakarta Pusat.
Bicara soal reformasi, bahwa demokrasi telah terjadi perubahan
besar dalam perpolitikan bangsa ini, yang berdampak sangat terbuka lebar
mengenai paham-paham ideologis yang bertentangan dengan ideologi negara Pancasila,
yang semakin lama berkembang komunitas-komunitas yang berbaju agama dan
menganut sistem garis keras, sehingga melahirkan sikap intoleransi terhadap
perbedaan paham keagamaan yang menuat dan meluas, sehingga banyak kejadian
kerusuhan yang tidak sedikit memakan korban serta berkembangnya terorisme yang
mengatasnamakan demi agama. Yang lebih memprihatinkan lagi, hasil kajian
menunjukkan sikap intoleran sudah merambah di dunia pendidikan, bahkan pada
Sekolah Dasar banyak ditemukan penyusupan dalam buku pelajaran sekolah yang
mengandung penyebaran kebencian. Faktor lain yang mempercepat proses
intoleransi adalah seluruh komponen bangsa seolah tidak memperdulikan lagi
ideologi Negara Pancasila, serta meninggalkan nilai-nilai kearifan warisan
leluhur bangsa, sehingga bangsa kita mulai kehilangan jati dirinya.
Dalam hal ini menurut bp. Engkus Ruswana dari Pengahayat
Kepercayaan menjelaskan bahwa kasus yang menyedihkan pada tahun 1950 ketika
korban jiwa dan harta benda yang terjadi di Jawa Barat dan Sulawesi yaitu
pembakaran rumah dan isinya dengan tuduhan kafir sehingga banyak yang mengungsi
ke kota serta pasca tragedi 1965 G-30-S PKI banyak mengalami penyiksaan dan
pembunuhan. Pada awal tahun 1970, pemerintah mulai memperlakukan Komunitas
Penghayat Kepercayaan secara lebih baik dan sudah diperbolehkan berorganisasi
dengan aman. PNS dan Pejabat Politik boleh melangsungkan perkawinan secara adat,
namun untuk pendidikan di sekolah wajib mengikuti salah satu pelajaran agama
(Hindu, Budha, Islam, Katholik, Kristen). Antara tahun 1979 hingga tahun 1986
terjadi ketidakpastian hukum dalam persoalan perkawinan yang mana tidak
diperbolehkan melangsungkan perkawinan tanpa melalui tata cara agama, sehingga
banyak pasangan warga penghayat kepercayaan yang tidak mau melangsungkan
perkawinan lewat agama tidak diakui sebagai perkawinan yang sah oleh negara
(dikenal dengan sebutan kumpul kebo), sehingga banyak menghasilkan “Anak
Haram”.
Narasumber Bincang Perdamaian Potret Toleransi |
Di tahun 2017 bangsa ini sangat tergantung pada keseriusan dan
niat baik pemerintah, legislatif dan yudikatif serta kerja keras kita semua
untuk bersatu padu melawan sikap intoleran dan memperjuangkan kesetaraan tanpa
diskriminasi, oleh sebab itulah hal-hal yang perlu dibenahi yaitu merevisi
peraturan UU yang masih bersifat diskriminatif, tidak sejalan dengan ideologi
Negara Pancasila, melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap kelompok
intoleran dan penyebar kebencian maupun yang melakukan pengrusakan sweeping
baik moment keagaman maupun yang bersifat insidentil.
Pandangan dari Komnas HAM bp. Jayadi Damanik bahwa Diskriminasi,
ekstrimisme dan intoleransi semakin rumit karena pelakunya tidak hanya kelompok
masyarakat tetapi juga pemerintah. Penanganan intoleransi di Indonesia memerlukan
edukasi dalam pengertian yang luas, tidak saja yang dilakukan oleh Negara tetapi
oleh masyarakat, baik yang formal melalui lembaga pendidikan maupun yang tidak
formal. Ketentuan dalam pasal 16 UU No.40 tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis dengan ancaman pidana penjara selama 5 tahun pun
faktanya tidak berlaku kepada korban minoritas berdasarkan diskriminasi ras dan
etnis. Bukankah di negeri kita sedang dipertontonkan fakta yang demikian?
Kata Mutiara Dari Komnas HAM : "Hatiku Berduka Melebihi Rasa Dukaku, Ketika ibu dan bapakmu Meninggalkanku untuk selamanya".
Blogger dan Instasi terkain meliput Bincang Perdamaian Potret Toleransi |
Kesimpulan dari acara ini Wahid Foundation mengungkapkan bahwa
Pancasila merupakan dasar Negara sebagai kesepakatan berbangsa dan bernegara
demi melindungi segenap bangsa Indonesia. Pancasila memuat prinsip-prinsip
pokok seperti penghargaan akan pluralitas, kebhinekaan dan toleran. Karena itu Negara
mencakup eksekutif, legislatif dan yudikatif harus menegaskan prinsip “Netralitas
Negara” terhadap keyakinan warga negaranya.
Yuk benahi diri kita untuk memajukan bangsa ini dengan hati yang
bersih tanpa adanya rasa saling mendahului, mari kita kerja sama membangun
Indonesia yang kita cintai.
Salam Blogger
Sumiyati SapriasihEmail : sumiyatisapriasih@yahoo.com
Aku suka banget baca postinganmu mbak. Masalah toleransi di tanah air sudah pada tahap memprihatinkan. Perjuangan para pahlawan kita sangat tidak dihargai anak bangsa..miris :(
ReplyDeleteiya mbak Dewi Nielsen reformasi yang ke bablasan, sehing nilai nilai agama sudah banyka yang dilanggar :)
Deletebetul sekali , membangun bangsa ini menjadi bangsa yg maju, jangan tumbuhkan intolerasni yg bikin pecah belah bangsa shg gak bsia maju
ReplyDeleteiya mbak Tika Soekardi, intoleransi yang bikin pecah belah bangsa yang di domplengi oleh orang yang tidak bertanggung jawab :)
DeleteMantap
ReplyDeletesebagai blogger kita harus memberikan informasi yang inovatif dan bermanfaat sehingga masyarakat akan paham masalah bangsa ini :)
Delete